Bab 574 Tadi Kamu Panggil Dia Apa

Tadi, Ardika pergi ke ruang presdir untuk mandi.

Dia juga berada di Grup Bintang Darma semalaman.

Luna sempat menghubunginya dan menanyakan mengapa dia tidak pulang ke rumah.

Ardika mengatakan dia sedang ada urusan di Grup Bintang Darma, jadi dia tidak pulang lagi.

Luna mengira Ardika ingin tetap berada di Grup Bintang Darma untuk membantu karena masalah konferensi pers sebelumnya, dia sangat mendukung tindakan suaminya itu.

“Perusahaan Aksatan Denpapan mau menuntut kita ….”

Elsy menceritakan perbincangannya dengan pihak Perusahaan Aksatan Denpapan tadi kepada Ardika dengan amarah yang meluap–luap.

Setelah mendengar cerita Elsy, Ardika hanya tertawa dingin.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia langsung menghubungi Thomas.

Dalam kurun waktu kurang dari setengah jam, Perusahaan Aksatan Denpapan kembali menghubungi

Elsy.

“Bu Elsy, aku benar–benar minta maaf. Aku akan mengembalikan uang sebesar 40 miliar itu. Aku berjanji akan mengembalikannya secepatnya, oke? Kita sama–sama berbisnis, kenapa Bu Elsy perlu bertindak

sejauh itu?!”

Mendengar suara getir orang di ujung telepon, Elsy juga terkejut.

“Ada apa ini? Apa yang terjadi? Aku nggak melakukan apa–apa pada kalian.”

Elsy merasa kepalanya seperti berdengung–dengung, dia sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi.

“Bu Elsy, jangan bercanda. Aku baru saja mengatakan akan menuntut Grup Bintang Darma, setelahnya pihak yang berwajib langsung datang menyelidiki perusahaan kami, sudah pasti Bu Elsy yang sedang

menghukumku!”

Di ujung telepon, orang itu berkata dengan nada memelas sekaligus terisak, “Bu Elsy, tolong berbesar

hati, lepaskan kami kali ini saja.

Secara refleks, Elsy mengalihkan pandangannya ke arah Ardika.

Pasti semua ini pengaruh dari panggilan telepon Ardika sebelumnya.

Ardika duduk di sana dengan santai dan berkata dengan acuh tak acuh, “Beri tahu dia, kita bisa saja melepaskannya. Tapi, dia harus mengembalikan uang sebesar 40 miliar sekaligus membayar denda, nggak boleh kurang sepeser pun!”

Dia sama sekali tidak mengasihani perusahaan yang tidak bisa dipercaya seperti Perusahaan Aksatan

Denpapan.

Tak lama kemudian, Perusahaan Aksatan Denpapan sudah mentransfer uang sebesar 240 miliar ke rekening Grup Bintang Darma.

Boleh dibilang masalah itu sudah berakhir.

Saat ini, Lucien datang menghampiri Elsy.

“Bu Elsy, aku ingin meminta izin cuti.”

Dia sudah tahu Ardika sama sekali tidak mengurus urusan operasional perusahaan, jadi dia meminta

izin cuti dari Elsy.

Melihat ekspresi marah pria itu, Elsy bertanya, “Apa yang terjadi?”

“Pasangan sialan itu sudah datang. Mereka memintaku untuk menemui mereka di kafe lantai bawah. Mereka bahkan mengatakan bahwa kalau aku nggak turun ke bawah untuk menemui mereka. Mereka akan datang ke perusahaan untuk menemuiku. Seharusnya mereka mau membicarakan tentang

perceraian.”

Semalam semua rasa Lucien pada Winda sudah hilang tanpa meninggalkan jejak.

Namun, Winda membawa Aditia untuk datang menemuinya secara terang–terangan.

Hal ini membuat harga diri Lucien sebagai seorang pria seperti diinjak–injak.

Setelah mendengar ucapan Lucien, Ardika mengerutkan keningnya.

Dia merasa dua orang itu datang menemui Lucien di saat seperti ini kemungkinan besar bukan untuk

membahas masalah sepele seperti perceraian.

“Ayo, aku menemanimu temui mereka.”

Ardika menepuk–nepuk pundak Lucien, lalu keduanya pun turun ke lantai bawah.

Di kafe lantai bawah.

Aditia dan Winda duduk berdampingan, bahkan berpelukan mesra seakan–akan dunia adalah milik mereka berdua.

Winda sedang membantu Aditia meredakan rasa sakit di wajahnya dengan kantong es.

Saat Aditia merintih kesakitan, Winda bahkan meniup–niup wajah pria itu dengan ekspresi sedih sekaligus penuh kasih sayang.

Melihat pemandangan itu, Lucien merasa terhina sekaligus marah.

“Eh, Lucien, akhirnya kamu turun juga. Kami baru bersiap untuk pergi ke perusahaanmu dan menceritakan kisah menyedihkanmu kepada rekan–rekan kerjamu!”

Melihat ekspresi marah Lucien, Aditia sengaja menepuk–nepuk paha Winda hanya mengenakan celana yang sangat pendek itu dengan ekspresi mempermainkan.

Sesaat kemudian, dia melihat Ardika berada di belakang Lucien. Sontak saja keberadaan Ardika membuat ekspresi sedikit takut dan benci muncul di wajahnya.

Namun, seolah–olah ada pendukung yang kuat, seulas senyum dingin tersungging di wajahnya.

Lucien menatap Winda dengan dingin dan berkata, “Katakan saja! Ada apa kamu memintaku

menemuimu di sini?!”

Winda merangkul leher Aditia dengan mesra dan berkata dengan suara manis sekaligus manja, “Sayang.

coba kamu katakan padanya.”

Mata Lucien seolah–olah sudah akan menyemburkan api.

Jelas–jelas dia masih belum bercerai dengan wanita jalang itu, tetapi wanita jalang itu sudah memanggil pria lain dengan panggilan mesra bahkan tepat di hadapannya!

“Tunggu, tunggu. Ada yang perlu kutanyakan.

Tepat pada saat ini, tiba–tiba Ardika menunjuk Aditia dan bertanya pada Winda, “Baru saja kamu panggil

dia apa?”

Tip: You can use left, right keyboard keys to browse between chapters.Tap the middle of the screen to reveal Reading Options.

If you replace any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.

Report