Menantu Pahlawan Negara by Sarjana -
Bab 583
Bab 583 Perjamuan di Vila Pelarum
Karena mulut sial Ardika, kemarin Doni dihukum untuk menulis aturan menjaga rahasia sebanyak dua
ratus kali.
Hingga sekarang, tangannya masih terasa pegal.
Dia ingin sekali tiga keluarga besar membantunya untuk membalas dendam, tentu saja dia tidak ingin membantu Ardika.
Dengan seulas senyum canggung tersungging di wajahnya, Desi berkata, “Ya, kamu benar. Kami memang nggak berhak untuk berdamai dengan tiga keluarga besar. Kami hanya ingin memohon pengampunan mereka.”
Doni berkata dengan ekspresi datar, “Tiga keluarga besar hanya mengundangku dan keluargaku. Apa kamu pikir kami bisa membawa sembarang orang untuk menghadiri perjamuan penting dan berkelas
seperti ini?”
Amanda tidak tega melihat kakaknya terjebak dalam situasi canggung.
“Doni, dengan mempertimbangkan aku, bantulah kakakku. Coba kamu hubungi dan tanyakan kepada tiga keluarga besar terlebih dahulu. Bagaimana kamu bisa tahu mereka nggak setuju sebelum
menanyakannya?”
Futari juga meraih lengan Doni dan membujuk ayahnya dengan nada manja, “Ya, benar, Ayah. Bantulah
Kak Ardika.”
“Oke, aku akan mencoba menanyakan hal ini kepada mereka.”
Doni tidak bisa menolak permintaan istrinya dan putrinya. Jadi, dia memutuskan untuk menghubungi Oliver dan mengatakan bahwa dia akan membawa beberapa kerabatnya untuk menghadiri perjamuan
itu.
“Oh, kerabat Pak Doni, ya? Tentu saja nggak masalah. Kelak, kita bisa saling membantu.”
Oliver juga tidak berpikir banyak, dia langsung menyetujui permintaan Doni dengan ramah.
Doni benar–benar merasa dirinya sangat dihargai dan dipandang tinggi. Dengan perasaan bahagia
menyelimuti hatinya, dia memutuskan panggilan telepon dan berkata, “Pak Oliver setuju. Kalau begitu,
kalian sekeluarga juga ikut dengan kami menghadiri perjamuan itu.”
Desi berkata dengan ekspresi penuh rasa terima kasih, “Terima kasih Doni, terima kasih Doni!”
Saat Ini, Luna juga sudah kembali dari perusahaan. Setelah mendengar dari ibunya mengenai hal itu, dia juga berterima kasih kepada Doni.
Sepulang dari Grup Bintang Darma, Ardika sedang tidur karena dia memang sudah kekurangan tidur.
Tiba–tiba, Desi menariknya bangkit dari tempat tidur.
“Ibu, ada apa,” tanya Ardika dengan ekspresi mengantuk.
“Sudah jam berapa ini? Kamu masih tidur saja! Dasar tukang tidur! Kerjaanmu tidur saja terus!”
Desi tidak pernah memperlakukannya dengan baik dan tidak pernah menganggapnya sebagai seorang menantu. “Cepat beres–beres! Kita akan pergi menghadiri perjamuan sore yang diadakan oleh Keluarga Lukito di Vila Pelarum! Kamu harus memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan pengampunan dari Keluarga Lukito!”
Ardika tercengang mendengar ucapan ibu mertuanya.
‘Apaan lagi ini?”
Jelas–jelas Ardika dan Keluarga Lukito adalah musuh bebuyutan. Sekarang ibu mertuanya malah memintanya untuk bertamu ke Vila Pelarum milik Keluarga Lukito?
“Cepat, cepat! Sore ini tiga keluarga besar mengadakan perjamuan khusus untuk Doni sekeluarga di Vila Pelarum. Aku sudah bersusah payah memperoleh kesempatan ini untukmu.”
Ardika sudah mengerti apa yang telah terjadi, dia benar–benar tidak tahu harus tertawa atau menangis. Dia berkata pada Desi, “Ibu, terima kasih atas niat baik Ibu. Tapi, kita nggak perlu berkunjung ke
kediaman Keluarga Lukito.”
“Adapun mengenai memohon pengampunan dari Keluarga Lukito, lebih tepatnya mereka yang harus
memohon pengampunan dariku.”
Bagaimana mungkin Desi memedulikan ucapan menantu yang selama ini dianggapnya pecundang itu?
Mendengar ucapan Ardika, ekspresi Doni langsung berubah menjadi muram. “Karena dia begitu nggak tahu diri, kalian juga nggak perlu ikut lagi. Kalau sampai kedudukan Keluarga Lukito meningkat secara signifikan setelah besok berlalu dan membalas dendam kepada kalian, kalian jangan datang mencariku.”
Begitu mendengar ucapan pamannya, hati Luna diliputi rasa gugup.
Dia langsung berkata dengan ekspresi dingin, “Ardika, kamu nggak mau pergi, ya sudah. Kelak, jangan
harap aku memedulikan urusanmu lagi
Begitu mendengar ucapan istrinya, Ardika langsung berkata, “Aku akan pergi!”
Saat itu, ekspresi Luna baru terlihat sedikit membaik.
Tak lama kemudian, dua keluarga itu pun berangkat menuju ke Vila Pelarum.
Desi bahkan menyiapkan beberapa hadiah secara khusus.
“Ardika, setelah tiba di kediaman Keluarga Lukito, kamu harus tahu aturan. Mereka adalah keluarga
besar, identitas kita sama sekali nggak bisa dibandingkan dengan identitas mereka.”
“Kamu harus banyak mengucapkan kata–kata yang enak didengar! Apa kamu mengerti?!”
Di dalam mobil, Desi kembali memperingatkan Ardika dengan nada bicara tegas dan ekspresi serius.
Tak lama kemudian, mereka sudah tiba di lokasi.
Ini adalah pertama kalinya Ardika mengunjungi Vila Pelarum.
Hanya satu kata untuk mendeskripsikan pemandangan di sini, yaitu indah.
Ardika menganggukkan kepalanya dan bergumam sendiri, “Ternyata Simon memang nggak
membohongiku. Tentu ini adalah tanah dengan fengsui yang bagus untuk dijadikan sebagai makam.”
Begitu memasuki area Vila Pelarum, dia baru mendapati tempat ini sudah menjadi sebuah lokasi
konstruksi.
Di hamparan rerumputan, para pekerja sedang memotong rumput dengan mesin pemotong rumput.
Di dalam taman, para tukang kebun sedang sibuk menata taman.
Semuanya tampak sedang sibuk bekerja.
Ardika cukup puas, boleh dibilang tugu makam Delvin sudah diselesaikan lebih awal.
Satu–satunya hal yang membuat Ardika tidak puas adalah, seluruh area vila didekorasi dengan warna
merah.
Dalam bayangannya, seharusnya besok tempat ini dipenuhi dengan karangan bunga untuk
memperingati hari kematian Delvin, tidak boleh ada dekorasi yang berwarna merah.
If you replace any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report