Menantu Pahlawan Negara by Sarjana -
Bab 91
Bab 91 Jenderal Perang Nomor Satu
Enam orang pria memelototi Ardika dengan auta membunuh yang kuat.
“Romi, jadi mereka adalah enam jenderal perang bawahanmu?“
Ketika melihat enam orang itu, ekspresi Jinto sedikit berubah
Setelah keluar dari penjara satu bulan lalu, Romi baru mulai berjaya di Kota Banyuli
Dia bisa menjadi kepala preman penguasa wilayah karena enam orang hebat ini.
Hanya saja, hanya sedikit orang yang pernah melihat mereka. Ketika enam orang ini turun tangan, musuh Romi pasti akan mati.
Mereka termasuk senjata rahasia Romi.
Bahkan Jinto baru pertama kali melihat mereka.
“Huh! Tahu juga kamu!”
Romi berkata dengan bangga, “Enam jenderal perang ini merupakan prajurit senior yang pulang dari wilayah perang. Tangan mereka sudah dipenuhi darah manusia.”
“Gaji tahunan yang aku berikan kepada mereka mencapai miliaran per orang. Kamu mengerti seberapa hebat kekuatan mereka, ‘kan?”
Sambil berkata, dia tiba–tiba melihat ke arah Ardika, lalu berkata dengan kejam, “Cepat! Berikan pelajaran kepada bocah yang nggak tahu diri ini.”
“Baik!”
Jenderal perang nomor satu yang berdiri di sisi paling kiri langsung berjalan ke arah Ardika. Tatapannya sangat dingin, aura yang dipancarkan seluruh tubuhnya juga sangat menakutkan.
Sebelum dia sampai di depan Ardika, satu sosok tiba–tiba muncul dan menghalanginya.
Orang itu adalah Draco yang memakai kacamata hitam.
“Lepaskan kacamatamu! Aku nggak suka ada yang berlagak sombong di depanku.”
Jenderal perang nomor satu langsung meninju wajah Draco.
Dia ingin menghancurkan kacamata Draco beserta matanya.
Tanpa berbicara satu kata pun, Draco langsung menangkap lengan orang tersebut.
“Lepaskan!”
dia haru sadar
+15 BONUS
kalau tangan musuhnya seperti ragum. Genggaman Draco membuat lengannya tidak bisa bergerak sama sekali.
Pria itu lalu mengangkat kakinya, lalu menendang Draco dengan penuh amarah.
Pada saat ini, dia merasakan rasa sakit di pergelangan tangannya.
Krak!
Suara patah tulang membuat semua orang menggigil.
Tangan yang kuat itu dihancurkan begitu saja oleh Draco.
Sebelum pria itu sempat menjerit kesakitan, Draco menendangnya hingga terpental dan
menabrak dinding sejauh beberapa meter. Seluruh kamar terasa bergetar.
Mendengar jeritan dari jenderal perang nomor satu, Romi tampak terkejut.
1
Dia langsung mengayunkan tangannya dan berkata, “Semuanya serang! Bunuh dia!”
Seketika, lima jenderal perang yang tersisa langsung menyen bersama.
Namun detik selanjutnya, satu per satu dari mereka terpental dan menabrak dinding dengan
keras.
Enam jenderal perang Romi dikalahkan.
“Siapa kamu!”
Romi tidak terlihat sombong lagi dan wajahnya juga pucat. Dia menatap Draco dengan tatapan
ketakutan.
“Dia adalah jenderal perang nomor satu di bawahku,” ucap Ardika sambil tersenyum. Dia sama
sekali tidak peduli dengan apa yang terjadi di depan mata.
Enam jenderal perang Romi bisa dikalahkan Draco dengan satu jari.
Pada saat ini, enam jenderal perang itu berdiri dengan susah payah.
“Tahu nggak kenapa aku mematahkan tangan kalian? Sebagai prajurit senior yang pulang dari wilayah perang, kalian malah menjadi bawahan preman. Semua harga diri prajurit senior sudah
diinjak oleh kalian,” ucap Draco dengan nada dingin sambil melepaskan kacamatanya.
Dari awal sampai detik ini, kacamatanya tidak bergerak sama sekali.
Setelah melihat jelas wajahnya Draco, ekspresi enam jenderal perang itu langsung berubah.
“Ternyata Komandan dari Pasukan Naga Perang, Tuan Draco.”
“Satu lagi? Jangan–jangan
Enam orang itu melihat ke arah Ardika. Mereka adalah prajurit senior dari wilayah perang, jadi langsung tahu identitas Ardika
Buk!
Enam orang itu berlutut dengan rapi ke Ardika. Meskipun rasa sakit membuat keringat terus bercucuran, mereka tetap berlutut. Mereka menatap Ardika dengan tatapan penuh semangat dan penuh hormat. Mereka sedang menatap seorang Dewa Perang legendaris yang menjadi legenda di hati semua prajurit senior.
Dewa Perang Ardika.
If you replace any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report