Ruang Untukmu -
Bad 958
Bad 958
Bab 958
Raditya segera mendekati Anita dan, dengan lengannya yang panjang, membuka pintu untuknyasebelum tertawa geli. “Apakah ciuman saya tadi telah membuat lututmu lemah?”
Anita melotot padanya dengan kesal karena dia masih berani berkata seperti itu padanya. Kemudian,dia berlalu dari ruang itu, berjalan di sepanjang koridor menuju ke kamar kecil untuk menenangkandirinya.
Sementara itu, Raditya berjalan ke sebuah ruang, mendorong pintu, dan masuk, di mana dia kemudiandisambut oleh seorang laki–laki yang tenang dan tampan, Jelas dia sudah menunggu begitu lamakarena menatap lama ke luar jendela,
“Maaf sudah menunggu, Elan,” Raditya meminta maaf sambil duduk di seberangnya.
Laki–laki yang menunggu Raditya di meja itu adalah Elan Prapanca. Dengan setelan hitam pekat, diamenyiratkan keanggunan kalangan bangsawan. “Tak apa. Saya tahu betapa sibuknya kamu,” diaberkata sambil membetulkan posturnya. Kemudian, sambil menatap sahabatnya dengan penuh rasaingin tahu, dia bertanya, “Apakah ini imajinasi saya saja? Tampak ada sedikit perubahan pada dirimu.”
“Apa yang berubah?”
“Matamu. Apakah kamu baru saja bertemu seseorang? Saya duga seorang perempuan sudah masukke dalam kehidupanmu.” Dengan tatapan setajam silat, Elan menilainya.
Raditya menjawab, hampir saja kehilangan kata–kata, “Kamu selalu saja berwawasan luas.”
“Hanya kebiasaan saya.” Dia tersenyum. Dengan semakin penasaran, dia bertanya, “Apakah kamubaru saja bertemu dengan seseorang yang kamu minati?”
Raditya tidak menyangka mendapatkan hantaman cepat seperti itu pada jati dirinya. Dia memangpernah berkata sebelumnya bahwa dirinya tidak akan pernah memiliki perasaan romantis untukseorang perempuan. Namun, Tuhan punya rencana lain untuknya dan menciptakan kisah cinta yangtidak bisa dihindarinya dalam waktu kurang dari tiga bulan. “Ya.” Dia mengangguk tanpa berusahauntuk menentang asumsi Elan.
Sambil hendak mengucapkan selamat untuknya, Elan berkata, “Mari kita makan malam bersama suatusaat nanti. Kamu dapat mengenalkannya pada Tasya dan saya.”
Namun, Raditya tidak memiliki kayakinan bahwa hari seperti itu akan datang. “Masih agak rumitsekarang ini. Kita bicara soal ini lagi nanti, bila waktunya datang.”
Kedua sahabat ini kemudian berdiskusi tentang urusan hangat mereka saat ini. Ketika Radityamenyebutkan bahwa dirinya siap untuk membalas dendam, wajah Elan segera berubah seriussebelum menyampaikan pendapatnya. “Raditya, saya tahu bagaimana perasaanmu, tapi kamu jangansampai bertindak gegabah.”
“Walaupun paman saya mencoba menghentikan, saya tidak akan menurut pada pengaturan yangdilakukannya. Sava akan menangani semua hal terkait orang itu dengan cara sava sendiri.”Pernyataan itu
“Bila membutuhkan pertolangan saya, katakan saja.” Elan sadar bahwa dirinya tidak bisa membujukbegitu sahabatnya ini sudah mengambil keputusan. Tak bisa lain kecuali gelisah.
Raditya menggeleng. “Tidak untuk saat ini. Saya masih mempersiapkan segala sesuatunya, jadimemang belum waktunya.”
Sementara itu, Anita kembali ke ruang privat dan duduk di kursinya. Dia mencoba tetap tenang sambilmendengarkan diskusi keluarga tentang hal remeh dalam kehidupan mereka sehari–hari. Ani
mendekatinya dengan sikap ingin tahu dan menyorongkan tubuh padanya, sambil bertanya: “Anita,kamu dari mana saja? Kamu pergi cukup lama.”
“Saya bertemu dengan teman lama dan berbincang sejenak.” Dia tak sanggup menatap mata Ani.
Dua bersaudara sepupu ini adalah dua kategori kecantikan memukau yang berbeda. Ani memilikiwajah yang elok dan cantik, seperti bayi. Secara berlawanan, Anita memiliki wajah berbentuk ovalyang mutakhir dan glamor.
Anita masih belum bisa menikmati makanan yang disantapnya karena pikiran dan hatinya tidak ada dìsana. Dia menerima pesan setelah itu dan karena merasa bosan, segera memutuskan untukmembacanya, walaupun sempat mengiranya sebagai pesan bohong. Dia menarik napas dalam–dalamsaat membaca pesan itu. ‘Ini nomor pribadi saya. Simpanlah.‘ Dia tidak perlu menerka siapapengirimnya. Takut pesan ini akan dibaca oleh orang lain, dengan cepat dia menutupi ponsel dengantangannya.
Saat itu, dia mencuri dengar ibunya berbicara. “Ayah, ada begitu banyak laki–laki muda dan tampan disekitarmu; mungkin kamu bisa mengenalkan Anita pada sebagian mereka. Dia sudah cukup umuruntuk segera menikah,” Darwanti berbicara pada Wisnu.
Merasakan jantungnya terhentak, Anita segera menjawab, “Ibu, Ibu. Saya tidak sedang dalam keadaanterburu–buru untuk menikah.”
“Walaupun kamu satu setengah tahun lebih tua dari Ani, dia sudah bertunangan!” ujar Darwanti.
Wisnu memerhatikan sentimen yang disampaikan Darwanti, maka segera berkata, “Baiklah. Anita,saya akan carikan kamu pasangan yang pas. Saya ingat seorang teman berkata bahwa dia memilikiseorang cucu laki- laki yang kini berusia dua puluh delapan tahun dan berkepribadian baik. Saya akanmemperkenalkan kamu padanya dalam waktu dekat.”
Anita menatap kakeknya dengan penuh perhatian dan berkata, “Kakek tak perlu melakukan hal itu.Saya masih belum ingin menikah.”
“Ayah, segeralah membuat janji dengan Keluarga Laksmana sehingga kita dapat berdiskusi tentangrencana pernikahan Ani,” Henida berkata dengan agak mendesak.
If you replace any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report