Ruang Untukmu -
Bab 382
Bab 382
Ruang Untukmu
Bab 382
Romi menatap Elsa Ickat-lekat, terlihat sedang memikirkan aksi berikutnya. Bagaimanapun juga, diatahu pasti bahwa dirinya tidak memiliki kesempatan mendekati Tasya dengan Elan berada disampingnya. Namun, dengan Elsa yang sedang mendekatinya sekarang, Romi mulai melihatnyasebagai sebuah kesempatan. “Nona Elsa, aku ini hanyalah laki-laki biasa tanpa memiliki sesuatu yangpantas dikagumi, maka aku cukup heran apa yang membuatmu begitu menyukaiku.” Romi menghelanapas.
“Aku tidak seperti saudaraku yang hanya ingin menikah dengan laki-laki kaya raya. Di sisi lain, akulebih memercayai perasaanku sendiri ketika memilih pasanganku.” Elsa kemudian menatap Romidengan genit. “Pak Wijaya, kamu benar-benar tipe laki-laki idamanku.”
Mendengar ucapan perempuan ini, Romi merasakan sengatan listrik mengalir ke tubuhnya. WalaupunElsa tidak dipandang cantik seperti saudaranya, Romi, yang secara naluriah adalah laki-laki yangberpikiran lebih rasional, tidak bisa menolak serangannya ini.
Sementara itu, Tasya, yang masih berada di lobi, mendorong Elan ke samping setelah menyekatetesan air hujan di tubuhnya, “Kita pergi setelah hujan reda.”
“Baik!” Elan mengangguk patuh.
“Ayo, kita ke ruang duduk! Di sini dingin.” Tasya mengajaknya itu ke lantai atas.
Sesampainya di tempat yang lebih hangat, Elan melepas jaketnya dan terlihat kemeja hitam yangmenonjolkan otot tubuh di baliknya. Namun, Tasya memalingkan wajah seakan mencoba menolaksesuatu. Rupanya, dia sedang berusaha menekan daya tarik dan aura maskulin laki-laki
itu jauh ke dalam hatinya agar tidak membuatnya semakin jatuh hati padanya.
Saat itu, Romi mengetuk pintu dan langsung masuk meskipun tahu Elan sedang berada di dalam; diamemang berencana mengacaukan momen romantis Elan dan Tasya. Bagaimanapun juga, Elsahanyalah cadangan baginya karena Ti ya tetap merupakan perempuan yang dicintainya. Takdisangkal, kehadiran Romi membuat Elan mengernyitkan wajahnya dan langsung saja memeluk Tasyayang sedang menyeduh teh.
Belum selesai dengan seduhannya, Tasya kehilangan keseimbangan dan terduduk di atas pangkuanElan dengan kantung teh masih di tangan. Tepat ketika hendak menceramahinya, Tasya menangkapkekesalan tersirat di mata Elan dan langsung mengerti kehadiran Romilah yang telah membuatnyategang.
Baiklah, kuduga ini memang watak laki-laki pada umumnya. Mereka tidak bisa mentolerir siapapunyang menginjakkan kaki di wilayahnya. Itulah sebabnya laki-laki ini mencoba menyatakan dengantegas kuasanya.
“Ternyata Anda di sini, Pak Prapanca.” Romi menyapa Elan dengan kaku.
“Aku berada di sini untuk menemani Tasya. Silakan kamu menyelesaikan urusanmu sendiri sekarang,Pak Wijaya.” Ujar Elan dengan ketus pada Romi.
“Baik!” Romi tersenyum, wajahnya masam saat membalikkan badan. Sepertinya Elan sama sekalitidak memedulikan kehadiranku.
Tak lama, Tasya bangkit dari posisi duduknya dan mengingatkannya untuk tahu diri. “Jaga perilakuburukmu saat berada di sini. Aku tidak ingin tertangkap basah sedang asik bermesraan denganmu.”
“Memangnya apa yang salah dengan hal ini? Apakah kamu khawatir Wijaya akan cemburu?” Elanmendengus dengan cara menyebalkan.
“Romi hanyalah seorang karyawan di perusahaan Ayahku. Itulah yang membuat kami tidak lebih darirekan kerja,” jelas Tasya.
Walaupun percaya penuh pada perempuan ini, harga diri dan kecemburuan Elan tidak akanmembiarkannya hanya berdiam diri dan menyaksikan laki-laki mana pun mendekati Tasya. Sesaatkemudian, dia berpura-pura batuk sambil menatap Tasya, mencoba memahami penjelasannya tepatketika ia menoleh dan bertemu pandang dengannya.
“Jangan khawatir. Hari ini aku sudah minum obat.” Elan meyakinkan Tasya kalau dia hanya terkena flu,dan kurang istirahat.
Kemudian, Tasya menuangkan segelas teh hangat, “Kamu satu-satunya ahli waris nenekmu, jadi harusmenjaga diri baik-baik, dan jangan lupa nenek sudah tua.” Sementara itu, Elan tidak senang melihatwajah dingin Tasya meskipun masih menaruh perhatian atas keluarganya.
“Tolong jangan salahkan nenekku, Tasya. Akulah yang sepantasnya disalahkan.” Elan berusahamemikul semua tanggung jawab itu.
Apakah aku harus menyalahkan anak berusia enam tahun atas insiden di masa lalu itu? Tidak!Sebagai seorang ibu dengan anak laki-laki, Tasya bisa berempati pada diri Elan muda dan memahamirasa takut yang membelenggunya.
“Apakah kamu masih ingat apa yang terjadi waktu itu?”
Elan menggeleng. “Sebenarnya, nenekku sudah mencari bantuan dari banyak psikiater dan ahlihipnotis untuk menangani luka mentalku saat itu.” Dia menutup matanya setelah menyelesaikankalimatnya, seperti berusaha menemukan kenangan yang hilang di dalam pikirannya.
Mata Tasya sedikit membesar sebelum meraih lengan laki-laki itu. “Sudah cukup.”
“Maafkan aku. Jika bisa mengingat sesuatu, mungkin aku bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi waktuitu.” Elan menengadah sambil merasa bersalah.
Previous Chapter
Next Chapter
If you replace any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report