Bab 97 Menampar Ralihe
Axel pernah datang ke sini untuk membantu Theo mengambil dokumen, jadi dia mengetahui lokasi ruang kerjanya dan berjalan ke pintu dengan ligat. “Nona Kayla, Nyonya menyuruhku… melihat apakah
kamu sudah menemukan laporan.”
Tadi dia mendengar semua pembicaraan Evi dan Warni di bawah dan tahu tidak ada laporan di ruang
kerja.
Kayla mendongak. Matanya memerah dan wajahnya sangat pucat. Dia menatap Axel dengan linglung. Meskipun matanya tertuju pada Axel, dia seperti tidak melihat Axel.
Axel bertanya, “Apa Anda kurang sehat?”
“Nggak.” Kayla mengeluarkan lukisan itu dari laci, dia tidak menyembunyikan tindakannya dari Axel. Ketika berjalan sampai pintu dan melihat mata Axel tertuju pada lukisan di tangannya, dia pun menunjukkan lukisan itu pada Axel sambil bertanya, “Bagus nggak? Aku berencana untuk membawanya
pulang dan menggantungnya di dinding kamar.”
Axel terdiam.
Melihat lukisan gelap dan suram itu, Axel hanya bisa menelan ludah.
Mungkin akan lebih cocok digantung di depan pintu untuk mengusir roh jahat.
Dia tidak menjawab, tetapi Kayla dapat menebak isi pikirannya melalui ekspresinya yang tertekan.
Ketika membuat lukisan ini, dia sedang menjalani hari–hari paling sulit di Keluarga Sandio. Dia disiksa
habis–habisan oleh ayahnya dan ibu tirinya. Selain itu, adik tirinya, Viola juga sering mencari masalah dengannya. Bagaimana mungkin suasana hatinya baik? Dia sudah termasuk baik hati karena tidak mengambil pisau dan diam–diam membunuh mereka pada tengah malam.
Justru aneh kalau lukisan yang dibuat dalam keadaan seperti ini tampak ceria.
Jadi, ketika lukisan itu terjual dia mengira dirinya bertemu dengan orang–kaya yang bodoh. Mungkin guru seninya pun berpikir demikian hingga mengajaknya pergi membeli beberapa nomor lotre.
Namun, kini tampaknya yang bodoh bukanlah orang yang membeli lukisan itu, melainkan dirinya sendiri. Theo menghabiskan sejumlah uang demi menyenangkan pacar dan menciptakan sejarah kelam dalam hidupnya. Dalam sekejap, dia jatuh ke dalam jurang yang dalam.
Sesampai di bawah, melihat Evi menatapnya dengan tulus, Kayla pun memaksakan diri untuk tersenyum. “Bu, ada urusan mendadak. Minta Bibi Warni temani Ibu pergi melakukan pemeriksaan, oke?
Dokter selalu menyimpan hasil pemeriksaan, Ibu bisa langsung pergi.”
“Oke.” Evi mengamati raut wajahnya. Melihatnya tidak gembira, Evi pun bertanya dengan prihatin, “Kayla, apa kamu melihat sesuatu di ruang kerja Theo? Kenapa sepertinya kamu tampak kesal setelah pergi ke
+15 BONUS
sana?”
Kayla tidak ingin membuat Evi khawatir. “Ya, aku melihat sesuatu yang istimewa. Nggak kesal kok, cuma kaget saja. Jadi, sekarang aku mau pergi mencari Theo.”
Mendengar ucapan ini, Evi pun merasa lega. Dia menepuk tangan Kayla sambil berkata, “Oke, oke. Pergi cari dia sana, suami istri bertengkar harus diselesaikan baik–baik, jangan dipendam, apalagi mau bercerai. Semuanya bisa diatasi, biar kusuruh sopir mengantarmu.”
“Nggak usah, aku bawa mobil.”
Setelah meninggalkan rumah tua, Kayla langsung pergi ke Perusahaan Oliver dan naik ke kantor Theo.
Resepsionis menghentikannya. Namun, ketika dia mengatakan dia hendak pergi ke Departemen Sumber Daya Manusia untuk mengurus prosedur pengunduran diri, mereka pun membiarkannya masuk.
Semua staf di perusahaan tahu bahwa Kayla mendapatkan gaji tinggi dan pekerjaan yang mudah karena memiliki koneksi tertentu. Bahkan pekerjaannya berhubungan langsung dengan Theo dan tidak ada yang menggantikannya setelah dia pergi.
Selain Axel, tidak ada orang yang memiliki hubungan kerja sedekat itu dengan Theo.
Karena menemani Evi pergi melakukan pemeriksaan di rumah sakit dan tidak berada di tempat, asisten Axel yang menghentikannya.
“Bu Kay… Nona Kayla, apa kamu sudah membuat janji temu? Kamu nggak boleh masuk tanpa janji.”
Kayla mengabaikannya. Karena dia mengetahui lokasi kantor Theo, dia tidak perlu dituntun. Namun, dia dibuat kesal oleh tangan yang terus menghalanginya. “Apa Axel nggak memberitahumu identitasku?”
Asisten itu belum semahir Axel. Dalam menghadapi keadaan seperti ini, dia agak panik. Apalagi setelah mendengar ucapan Kayla, dia menjawab dengan terbata–bata, “Ta… tahu, tapi Nona Kayla, Pak Theo lagi ada tamu. Bagaimana kalau Anda menunggu di ruang tamu dulu.”
Melihat asisten itu begitu ingin mengusirnya, Kayla pun mengangkat alisnya sambil bertanya, “Wanita?”
Sembari berbicara, keduanya sudah sampai di depan pintu. Kayla langsung membuka pintu.
Memang benar, tamu itu adalah Raline.
Dia mengenakan pakaian berwarna terang dan rambut panjangnya tergerai hingga menutupi separuh pipinya. Dia duduk dengan postur anggun sambil menyilangkan kakinya.
Sekujur tubuhnya memancarkan aura sombong.
Melihat Kayla muncul secara tiba–tiba, Theo sedikit mengernyit dan melambai kepada asisten di samping. “Keluar dulu.”
+ 15 BONUS
Asisten itu seperti mendapatkan pengampunan. Sebelum pergi, dia berbisik pada Kayla, “Nona Raline hanya datang setengah menit lebih awal dari Anda.”
Dia takut Kayla salah paham.
Raline tersenyum masam. Meskipun kesal, dengan statusnya saat ini, dia tahu bahwa dirinya tidak
berhak marah. “Kayla, aku datang mencari Theo karena …..
Kayla bukan hanya mengabaikannya, Kayla bahkan tidak meliriknya dan langsung berjalan ke arah Theo.
Melihat ekspresi galak Kayla, semua orang dapat merasakan ada yang aneh dengannya.
Raline kaget. Dia sontak berdiri dari sofa dan berjalan mengikuti Kayla.
Kayla tidak mengucapkan apa–apa, dia langsung mengangkat tangannya untuk menampar Theo.
Angin dingin yang muncul dari tamparan itu membuat rambut Theo berserakan.
“Kayla, apa kamu gila?” seru Raline. Dari napasnya yang tidak teratur, Kayla bisa menebak betapa marahnya dia saat ini. Dia meraih tangan Kayla untuk menghentikan Kayla menampar Theo. “Aku datang mencari Theo untuk membicarakan pekerjaan. Selain itu, aku juga datang bersama penanggung jawab tim tariku, hanya saja tadi dia pergi ke toilet dan nggak masuk bersamaku. Datang–datang, kamu langsung main tangan. Cemburu juga nggak perlu sampai seperti ini, keterlaluan kamu.”
Kayla menarik tangannya dengan dingin dan langsung melayangkan sebuah tamparan ke wajah Raline. lalu dia mengambil kopi di atas meja dan menyiram kopi itu ke wajah Theo.
Semua ini terjadi dengan begitu cepat hingga tidak ada yang bisa menghentikannya.
Setelah itu, Kayla pun berkata dengan lantang. “Aku keterlaluan?”
Dia melemparkan lukisan di tangannya ke atas meja sambil mengangkat alisnya dengan sinis.” Bukannya kalian yang nggak tahu malu? Demi membuat keributan di kampus, kalian melakukan hal nggak bermoral seperti ini. Tuhan tahu semua perbuatan kalian, berbuat jahat akan mendapatkan karma. Kalian memang bermuka tebal dan nggak takut disambar petir, tapi apa kalian nggak takut anak kalian akan terkena karma? Berbuat jahat berdampak pada anak adalah hal yang umum.”
Dia terus mengoceh hingga membuat orang tidak mempunyai kesempatan untuk menghentikannya.
Kayla pun tahu bahwa dirinya tidak pernah sekejam ini. Sekalipun memarahi orang, dia tidak akan melibatkan orang tua dan keturunan. Dari ucapannya sekarang, bisa dibayangkan betapa emosinya dia.
Sejak Kayla masuk sampai sekarang. Th
If you replace any errors (non-standard content, ads redirect, broken links, etc..), Please let us know so we can fix it as soon as possible.
Report